Madinah dan Indonesia
Nabi Muhammad SAW berada di Makkah selama 13 tahun untuk
membangun komunitas yang militan. Beliau melakukan proses kaderisasi yang ketat
dengan menggelorakan ukhuwah islamiyah. “Yang Islam
saudara, yang bukan Islam bukan saudara.” Inilah generasi pertama Islam.
Setelah itu beliau pindah ke kota Yasrif (Madinah). Kota ini
ternyata sangat majemuk. Penduduk Islam lokal namanya Ansor, para pendatang
dinamakan Muhajirin, dan orang Yahudi di sana terdiri dari tiga suku besar.
Masih ada juga golongan lainnya musyrik dalam jumlah kecil.
Setelah melihat masyarakat Yasrif yang majemuk, maka Nabi
Muhammad tidak lagi menggunakan istilah ukhuwah Islamiyah,
tetapi ukhuwah madaniyah, persaudaraan untuk seluruh penduduk. Semua sama
kedudukannya dalam hukum, siapapun dia. Siapapun yang salah, tidak melihat
sukunya harus dihukum. Demikian sebaliknya. Inilah yang dinamakan tamaddun.
Maka Yasrif kemudian diubah namanya menjadi Madinah.
Ini artinya kota yang sudah menggunakan nilai-nilai universal.
Dalam Piagam Madinah terdapat 47 pasal. Nabi bertemu dengan seluruh pimpinan
suku dan kemudian sepakat mengelurakan kesepakatan Madinah. (Ibnu
Hisyam, Sirah Nabawiyah: 120-122).
Dari 47 point, tidak ada kata Islam. Tidak satupun mengutip
Al-Qur’an. Prinsip-prinsip universal saja yang digunakan. Malah dalam poin 15
disebutkan semua agama diberi kebebasan menggunakan agamanya masing-masing.
Terakhir dalam Piagam Madinah ini disebutkan bahwa kesepakatan ini untuk
membela yang benar.
Ini bukan omong kosong, yang selanjutnya ditaruh di rak saja.
Terbukti ketika ada orang Islam membunuh Yahudi, Nabi marah besar dan bersabda:
“Barangsiapa yang membunuh orang non Muslim, maka ia berhadapan dengan saya.
Saya pengacaranya,” begitulah kira-kira. Luar biasa Akhirnya Nabi terpaksa mencari
para donor untuk menyumbang ahli waris Yahudi sebagai ganti ruginya. Ini bukan
omong kosong.
Lagi, suatu saat ada janazah yang lewat, Nabi berdiri untuk
menghormatinya. Sahabat mengingatkan, "ini jenazahnya orang Yahudi."
Nabi mengatakan, ”Ya saya tahu ini jenazahnya orang Yahudi”.
Nah, Indonesia ini kondisinya seperti Madinah, ada sekian agama,
sekian etnis, sekian budaya. Maka menurut Nahdlatul Ulama (NU), untuk menjaga
persatuan, Islam ini kita amalkan, namun tidak kita konsititusikan, tidak kita
legalformalkan. Kita mengamalkan Islam setiap waktu: sholat, puasa, zakat,
haji, dan mempraktikkan akhlak Islami, sementara negara kita biarkan sebagai
suatu kesatuan (NKRI).
Dulu ada KH Wahid Hasyim, salah satu dari anggota tim sembilan
PPKI. Ia setuju penghapusan 9 kata dalam Piagam Jakarta demi persatuan. Ia juga
mengusulkan adanya Departemen Agama yang fungsinya khusus untuk membangun
keagamaan, agar hidup rukun antara agama dan menjalankan agama masing-masing
dengan baik.
A. Khoirul Anam
Sumber nu.or.id
Madinah dan Indonesia
Reviewed by Unknown
on
08:20
Rating:
No comments: