Nilai Pedagogis Paulo Freire Dan Masa Depan Pendidikan
Pendidikan di
Indonesia nampaknya sudah tidak berhasil ditinjau dari aspek pedagogis. Dunia
pendidikan sekarang dinilai kering dari aspek pedagogis, dan sekolah nampak
lebih mekanis sehingga seorang anak sekolah cenderung kerdil karena tidak
mempunyai dunianya sendiri . Untuk itu, diperlukan adanya satu upaya baru dalam
menjalankan proses belajar mengajar. Baru, dalam pengertian berbeda dari yang
selama ini melembaga dalam duni pendidikan kita. Salah satu metode pendidikan
yang dinilai tepat dijalankan di dunia ketiga adalah konsep pendidikan Paulo
Freire yang menganggap bahwa pendidikan merupakan proses pembebasan .
Mengapa Paulo
Freire?
Paulo Freire
dilahirkan 1921 di Recife, salah satu daerah paling miskin dan terbelakang di
timur laut Brazil lewat karya pendidikannya dapat kita sebut sebagai bahwa
pikirannya mewakili jawaban dari sebuah pikiran kreatif dan hati nurani yang
peka akan kesengsaraan dan penderitaan luar biasa kaum tertindas di sekitarnya
. Kondisi ketertindasannya di Recife tersebut cukup menggambarkan pola keumuman
praktek pendidikan di dunia ketiga, termasuk di Indonesia. Disanalah tumbuhnya
kebudayaan bisu dikalangan orang-orang yang tertindas. Lebih jauh Paulo Freire
mengungkapkan bahwa proses pendidikan -dalam hal ini hubungan guru-murid- di
semua tingkatan identik dengan watak bercerita. Murid lebih menyerupai
bejana-bejana yang akan dituangkan air (ilmu) oleh gurunya. Karenanya,
pendidikan seperti ini menjadi sebuah kegiatan menabung. Murid sebagai
"celengan" dan guru sebagai "penabung". Secara lebih
spesifik, Freire menguraikan beberapa ciri dari pendidikan yang disebutnya
model pendidikan "gaya bank" tersebut.
1.
Guru mengajar, murid diajar.
2.
Guru mengetahui segala sesuatu, murid tidak
tahu apa-apa.
3.
Guru berpikir, murid dipikirkan.
4.
Guru bercerita, murid mendengarkan.
5.
Guru menentukan peraturan, murid diatur.
6.
Guru memilih dan memaksakan pilihannya, murid
menyetujui.
7.
Guru berbuat, murid membayangkan dirinya
berbuat melalui perbuatan gurunya.
8.
Guru memilih bahan dan ini pelajaran, murid
(tanpa diminta pendapatnya) menyesuaikan diri dengan pelajaran itu.
9.
Guru mencampuradukan kewenangan ilmu
pengetahuan dan kewenangan jabatannya, yang ia lakukan untuk menghalangi
kebebasan murid.
10.
Guru adalah subyek dalam proses belajar, murid
adalah obyek belaka. Sebagai jawaban atas pendidikan gaya bank tersebut, Freire
menawarkan bahwa sesungguhnya pendidikan semestinya dilakukan secara dialogis.
Proses dialogis ini merupakan satu metode yang masuk dalam agenda besar
pendidikan Paulo Freire yang disebutnya sebagai proses penyadaran
(konsientisasi). Menurutnya, konsientisasi merupakan proses kemanusiaan yang
ekslusif.
Pendidikan Kita
Anti Realitas
Potret buram
pendidikan kita berawal dari hal yang sesungguhnya sangat fundamental.
Pendidikan kita tidaklah berangkat dari satu realitas masyarakat didalamnya,
bahkan dapat dikatakan jauh dari realitas. Sebagai contoh, realitas kehidupan
kita sebagian besar ada di pedesaan dan bekerja di ladang pertanian. Tetapi,
kenyataan tersebut tidak digarap dengan baik di setiap jenjang pendidikan kita,
baik dalam proses pembelajaran maupun dalam kegiatan riset. Contoh lainnya
dapat kita cermati dalam pendidikan agama di persekolahan. Pendidikan agama
diajarkan secara antirealitas. Padahal pluralitas kehidupan beragama kita
merupakan realitas yang tidak perlu dipungkiri lagi. Pendidikan agama masih
diajarkan sebagai bagian dari usaha seseorang untuk memonopoli Tuhan dan
kebenaran, dan dengan sendirinya menghakimi orang lain yang berbeda agama
dengannya. Akibatnya, realitas kehidupan beragama kita kurang berfungsi sebagai
pengikat persaudaraan dan membantu menumbuhkan kearifan dan sikap rendah hati
untuk saling menghormati dan saling memahami perbedaan yang ada. Pada akhirnya,
pluralitas kehidupan beragama lebih cenderung menjadi penyebab konflik yang tak
habis-habisnya.
Relitas ekonomi
masyarakat Indonesia yang sebagian besar masih berada dalam kategori miskin dan
terbelakang tidak pula dijadikan bahan pijakan untuk menentukan sistem
pendidikan di Indonesia. Sekolah sekarang lebih mirip sebagai industri
kapitalis daripada sebagai pengemban misi sosial kemanusiaan dalam mencerdaskan
kehidupan bangsa. Sementara untuk sekolah tinggi (baca pendidikan
tinggi/perguruan tinggi), suatu ketika Menteri Pendidikan Nasional, Malik
Fajar, mengemukakan bahwa perkembangan perguruan tinggi negeri (PTN) akhir-akhir
ini lebih mirip toko kelontong. PTN kini kian mengecil dan berkeping-keping
dengan membuka sekaligus menawarkan aneka program studi jangka pendek dan
program ekstensi. Tujuannya jelas, penjualan kelontong itu lebih berorientasi
profit (mengejar keuntungan materi) ketimbang pengembangan ilmu.
Fungsi sekolah
masa lalu yang mengemban misi agung sebagai pencerdas kehidupan bangsa, kini
tak ubahnya lahan bisnis untuk memperoleh keuntungan. Akibatnya, hanya kelompok
elit sosial-lah yang yang mendapatkan pendidikan cukup baik. Kaum miskin
menjadi kaum marjinal secara terus-menerus. Merekalah yang disebut Paulo Freire
sebagai "korban penindasan". Proses penindasan yang sudah mewabah
dalam berbagai bidang kehidupan semakin mendapat legitimasi lewat sistem dan
metode pendidikan yang paternalistik, murid sebagai obyek pendidikan,
intruksisional dan anti dialog. Dengan demikian, pendidikan pada kenyataannya
tidak lain daripada proses pembenaran dari praktek-praktek yang melembaga.
Secara ekstrim Freire menyebutkan bahwa sekolah tidak lebih dari penjinakan.
Digiring kearah ketaatan bisu, dipaksa diam dan keharusannya memahami realitas
diri dan dunianya sebagai kaum yang tertindas. Bagi kelompok elit sosial,
kesadaran golongan tertindas membahayakan keseimbangan struktur masyarakat
hierarkis piramidal.
Metode Dialog : Hadap Masalah
Metode Dialog : Hadap Masalah
Karena penyebab
tidak berhasilnya pendidikan kita sebagai akibat dari penerapan metode
pendidikan konvensional, anti dialog, proses penjinakan, pewarisan pengetahuan,
dan tidak berumber pada satu realitas masyarakat, maka kini tiba saatnya kita
untuk merefleksikannya. Mau tidak mau, pendidikan kini harus berangkat dari
proses dialogis antar sesama subyek pendidikan. Dialog yang lahir sebagai buah
dari pemikiran kritis sebagai refleksi atas realitas. Hanya dialoglah yang
menuntut pemikiran kritis dan melahirkan komunikasi. Tanpa komunikasi tidak
akan mungkin ada pendidikan sejati. Sebagai respon atas praktek pendidikan anti
realitas, Freire mengharuskan bahwa pendidikan harus diarahkan pada proses
hadap masalah. Titik tolak penyusunan program pendidikan atau politik harus
beranjak dari kekinian, eksistensial, dan konkrit yang mencerminkan
aspirasi-aspirasi rakyat. Program tersebut diharapkan akan merangsang kesadaran
rakyat dalam menghadapi tema-tema realitas kehidupan. Hal ini sejalan dengan
tujuan pembebasan dari pendidikan dialogis. Pendidikan yang membebaskan,
menurut Freire, agar manusia merasa sebagai tuan bagi pemikirannya sendiri.
Secara umum
praktek pendidikan sebagai mana yang lazim disebut sebagai metode-nilai
pedagogis dapat kita rangkum dalam dua kata tadi, dialog dan hadap masalah.
Entahpun pengembangan lainnya tentu saja dapat kita lakukan seiring kondisi
yang bersangkutan.
Pendidikan Indonesia Masa Depan
Ketika memimpikan
tentang pendidikan masa depan kita tidak dapat melepaskan sejarah masa lalu dan
realitas yang melingkupi sekarang. Sejarah mempunyai pengaruh yang sangat kuat
terhadap pendidikan. Hal ini berarti, perkembangan pendidikan merupakan fungsi
perkembangan sejarah masyarakat. Pramoedya Ananta Toer mengemukakan bahwa
keengganan kita belajar dari sejarah telah mengakibatkan kita menuai kegagalan
sebagai bangsa disaat ini.
Beberapa
penyebab diantaranya telah kita simak pada bagian terdahulu. Maka, pendidikan untuk
masa depan haruslah mengindikasikan agar dunia pendidikan kita dibebaskan dari
suasana bisnis, agen perpanjangan kapitalisme gaya baru : kapitalisme
pendidikan. Kurikulum pendidikan juga sudah saatnya berangkat dari sebuah
realitas masyarakat, penataan kembali pendidikan agama, penanaman demokrasi dan
menumbuhkan pemikiran kritis. Karena tujuan pendidikan juga bukan hanya
kognitif semata, maka tinjauan apektif harus pula dijadikan bahan acuan dalam
menjalankan proses pendidikan. Pendidikan harus berangkat dan memupuk
keterampilan sosial (sosial skills) dan keterampilan hidup (life skills).
Potret
pendidikan kita dimasa depan adalah tergantung dari sekarang. Rancangan Undang
Undang Sitem Pendidikan Nasional (RUU Sisdiknas) yang sampai saat ini tetap menjadi
polemik, mudah-mudahan dapat menjawab permasalahan pendidikan kita. Semoga,
tidak ada lagi pertanyaan yang menggugat eksistensi lembaga pendidikan seperti
yang ungkapkan Roem Topatimasang, "Jika sekarang banyak orang berwatak dan
bersikap 'setengah manusia, seperempat binatang, dan seperempat lagi setan',
merupakan hasil bentukan sekolah (baca : pendidikan, penulis) ? "
Sumber: http://re-searchengines.com/ahmadnajip.html
Nilai Pedagogis Paulo Freire Dan Masa Depan Pendidikan
Reviewed by Unknown
on
11:40
Rating:
No comments: