SEJARAH PENDIDIKAN; ANTARA KEAJAIBAN DAN SALAH URUS
Dalam sejarah Indonesia paling kuno, di jaman kerajaan Hindu-Buddha, para murid mendatangi tempat seorang guru yang diyakini memiliki kelebihan (linuwih) dalam hal keilmuan dan kebijaksanaan. Para murid pun tinggal bersama sang guru tersebut; menjadi bagian dari keluarga di rumahnya, di ladangnya, dan mengikuti segala pelajaran yang diberikan secara tradisional. Sistem pendidikan semacam ini disebut “Guru Kula”. Kemudian datanglah para Walisongo, diprakarsai Kanjeng Sunan Ampel, memperkenalkan Islam, dengan masih memakai sistem pendidikan sebelumnya. Dan karena kurikulum yang diberikan dari Timur-Tengah, Kanjeng Sunan Gunung Jati menciptakan metode cara maknani (pemaknaan/penerjemahan) aksara Arab ke Arab-Jawa dengan istilah Pegon.
Kemudian bangsa Barat datang.
Sebenarnya bangsa ini tak begitu
luas, hanya negara demokrasi kecil di Eropa Utara, perannya pun kecil di
kawasan bangsa-bangsa Eropa, namun menjadi raksasa kolonial, termasuk di masa
kependudukan di Indonesia. Pada tahun 1816, pemerintah kolonial ini berupaya
mendirikan sekolah yang diperuntukkan anak berdarah Belanda yang tinggal di
tengah warga bumiputera. Setahun kemudian, 1817, niat ini terealisasi dengan
didirikannya sekolah Belanda atau Europese
Lagere School (ELS) di
Batavia, disusul sekolah-sekolah lain di Jawa yang berjumlah 20 sekolah, dan 15
sekolah di luar Jawa.
Bekerja sebagai pemegang kendali
dalam hal pengajaran di sekolah-sekolah tersebut adalah gereja, swasta atau
badan-badan kesejahteraan sosial. Sekolah-sekolah yang awalnya didirikan hanya
teruntuk anak Belanda pada tahun 1817, lantas kemudian diperbolehkan untuk
diisi penduduk pribumi sesuai ketetapan Gubernur Jendral pada tahun 1818.
Kebijakan kian longgar ketika pada tahun 1848 Gubernur Jendral tidak hanya
membolehkan anak-anak pemeluk kristen saja di sekolah, bahkan katholik pun
diterima. Di samping itu anak pribumi dari pejabat pemerintahan Belanda
diwajibkan membayar dengan ongkos mahal dalam pendidikan, dan sebagian
disetorkan kepada Gubernur Jendral Hindia Belanda.
Kian tahun kuantitas masyarakat
pribumi untuk masuk sekolah itu bertambah banyak. Gereja pun dibuat khawatir.
Akhirnya upaya yang disebut konkordasi yang lebih ketat diterapkan Belanda.
Konsekuensinya: hanya anak laki-laki yang dapat masuk sekolah, dan tentu saja
prioritas utama adalah anak laki-laki dari golongan ningrat atau priyayi.
Walhasil, adat tradisional Jawa yang kurang menyetujui pendidikan bagi
perempuan ditambah kebijakan pemerintah Belanda yang seperti itu, kian memberi
halangan bagi gadis-gadis Jawa untuk mencicipi pendidikan.
Politik Etis lahir, sebagai bentuk
penyesalan dari Belanda setelah bertahun-tahun menerapkan “tanam paksa” yang
membuat rakyat pribumi sengsara. Diantara isi “balas budi” tersebut adalah
dalam bentuk: Edukasi, Irigasi, dan Transmigrasi (Trilogi Van Deventer). Dan
sejak 1900, pendirian sekolah-sekolah kian merata di seluruh Jawa. Politik Etis
ini juga dimanfaatkan penguasa raja-raja Jawa untuk mendirikan sekolah swasta
yang nantinya dapat dinikmati bukan hanya anak priyayi saja, namun hingga wong cilik. Seperti Pura
Mangkunegaran, atas titah Mangkunegoro VI, mendirikan sekolah di lingkungan
Mangkunegaran bernama Siwo Mangkunegaran pada tahun 1912. Dan angin segar bagi
gadis-gadis Jawa, pada tahun 1918 terbit sebuah tajuk rencana De Taak yang memberikan kesempatan mereka
mendapatkan pendidikan.
Sekolah-sekolah swasta kian
menjamur, dan secara terpaksa pemerintah Belanda mengeluarkanOnderwijs
Ordonnantie sebagai
undang-undang untuk membatasi sekolah-sekolah partikelir tanpa ijin dan tanpa
sepengetahuan pemerintah kolonial yang mulai berlaku pada 1 Oktober 1932.
Dirasa kurang kuat, isi dan tujuan ordonansi itu pun ditambah pada 17 September
1932 dengan mengatur seluruh sekolah swasta-partikelis, dan guru-guru yang
mengajar harus atas ijin pemerintah Belanda. Adanya ordonansi inilah yang
menimbulkan perlawanan umum di kalangan masyarakat. Aksi perlawanan dilakukan
Ki Hajar Dewantara pada tahun 1933 yang menuliskan argumen kecamannya di sebuah
majalah bernama Poesara dan ia tujukan kepada seluruh cabang-cabang
Boedi Oetomo di seluruh Jawa hingga Mataram agar melakukan pengajaran seperti
biasa, tanpa memperdulikan undang-undang ordonansi buatan Belanda.
***
Ada sentilan paling saya ingat dari seorang
praktisi pendidikan yang dikeluarkan tahun 2008:
“Pendidikan jaman kolonial
dan sekarang tidak ada bedanya; di masa kolonial pendidikan (bagi pribumi)
bertujuan untuk mengisi kekosongan pegawai rendahan di kantor-kantor Belanda;
hal yang sama di masa sekarang, pendidikan menciptakan manusia siap kerja jadi
pegawai atau apapun, dan seolah-olah pendidikan hanya memberikan buku manual
bagaimana caranya bergerak tanpa harus berfikir.”
Pendapat seperti tidak sepenuhnya
benar. Namun, saya akan mengarahkannya pada sesuatu yang berbeda.
Untuk pertama kali, pada tahun
1850, George Samuel Windsor Earl menggunakan istilah “Indu-nesians”
dalam tulisannya yang berjudul On
the Leading Characteristics of The Papuan, Australian, and Malayu-Polynesian
Nations; Journal of The Indoan Archipelago and Eastern Asia 4 (1850). Entah bagaimana ceritanya,
Windsor tidak menggunakan istilah itu lagi, dan lebih memilih Malayunesians. Dia menganggap Indu-nesians terlalu umum, dan Malayunesians lebih spesifik. 27 tahun kemudian,
pada tahun 1877 muncul hipotesa bahwa Indonesia adalah rumpun proto-Melayu yang
menghuni nusantara. Hipotesa ini diamini antropolog Inggris bernama AH. Keane
pada tahun 1880, dan pada tahun 1884 istilah Indonesien untuk Indonesia dipakai etnolog asal Jerman
bernama Adolf Bastian.
Sejak kapan Indonesia diperkenalkan
sebagai pengibaratan sebuah bangsa?
Iwan Gardono mengambil 2 (dua)
tahap untuk sampai kesana: Pertama, pada 1928 Indonesia telah menjadi
Bangsa secara spiritual yang belum memiliki badan; Kedua, Indonesia telah menjadi utuh
sebagai Bangsa sejak dibacakannya Proklamasi 1945. Tahapan ini tidak menafikan
seluruh perjuangan, seperti, pada tahun 1912 yang diprakarsai Tiga Serangkai
dengan mendirikan Indische Partij untuk mengembangkan ragam etnis dari Pribumi,
Indo, China, dan siapapun yang merasa bagian dari masyarakat kepulauan
nusantara. Tahap 1928 adalah realisasi tegas pencantuman nama Indonesia pada
tahun 1927 oleh Partai Nasional Indonesia dirian Soekarno, dan Perhimpunan
Indonesia pada tahun 1925, dan Perserikatan Komunis Hindia Belanda yang merubah
nama menjadi Partai Komunis Indonesia pada tahun 1924, sampai dalam UUD 1945
tercantum istilah Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI)—meskipun setelah
reformasi kembali bergema hanya sebagai slogan politis.
Untuk menciptakan manusia yang
Indonesia, berkepribadian Indonesia, dan berwatak Indonesia, tidak akan ada
yang menyalahkan jika semua itu melalui pendidikan, yang merupakan tanggung
jawab antara: keluarga, masyarakat, serta pemerintah (negara). Di samping,
kesempurnaan harapan pendidikan itu harus digayuti berbagai permasalahan
kompleks dari mulai sumber daya manusia, prasarana pendidikan, kurikulum, dan
terlebih lagi sistem pengajaran. Konsekuensi logisnya, perubahan dan perbaikan
dalam sektor yang macam-macam tadi akan sangat membutuhkan waktu.
***
Ada sebuah cerita menarik dari
Jepang: (pernah) sebuah buku
sejarah menerangkan bahwa seluruh Jepang telah diciptakan oleh seorang Dewi
bernama Amaterasu pada abad 600 SM. Ketika bukti arkeologi mengingkarinya,
kalangan nasionalis ekstrim justru bereaksi keras dan mempertanyakan keabsahan
bukti arkeologi tersebut.
Saya tidak menginginkan hal
semacam itu terjadi di Indonesia. Sebagaimana telah disebutkan Asvi Warman,
fungsi sosial-politik dari pendidikan akan sangat beragam pada seluruh
penerimanya.
Untuk menggambarkan maksudnya itu,
Asvi memberikan uraian menarik. Demi alasan perbaikan pendidikan, ada baiknya
sistem multiple choice dalam evaluasi pendidikan harus
dirubah menjadi esei. Dalam pelajaran sejarah, misalnya, murid diminta
melingkari jawaban yang dinilai benar. Tidak jarang pertanyaannya
membingungkan, bahkan jawabannya pun jauh lebih memusingkan. Opsi yang harus
dilingkari kadang kali berisi lebih dari satu yang mungkin saja benar. Dalam
ujian, murid tidak diperkenankan untuk mendiskusikannya, dan secara terpaksa ia
harus menjawab sesuai kunci jawaban yang telah dibuat oleh penerbit soal ujian.
Sebaliknya, di dalam kolom jawaban itu kadang pula tidak ada yang benar menurut
murid, dan murid harus menjawab salah satunya. Hal ini berarti murid dipaksa
untuk bertindak tidak sesuai dengan akal sehat dan hati nuraninya. Untuk
pelajaran matematika, multiple
choice masih relevan
digunakan. Namun dalam sejarah, hal itu tidak sangat membantu; sejarah tidak
melulu tentang angka dan tahun, dan pertanyaan ujian tentang kedua hal itu
tidaklah terlalu perlu.
Hidup dalam masa yang memiliki
sistem pendidikan modern dan sistematis, berangkat dari sejarah pendidikan yang
jatuh-bangun seperti saya sebutkan di atas, adalah sebuah keajaiban yang
mensyukurinya adalah perkara harus. Sedangkan terus menerus dijejali sistem
pendidikan yang tak pernah memanusiakan manusia adalah bentuk kesialan karena
memiliki sistem pendidikan yang salah urus.
Semoga saja tidak menjadi benar
bahwa: seolah-olah pendidikan
hanya memberikan buku manual bagaimana caranya bergerak tanpa harus berfikir.
Selamat Hari Pendidikan Nasional.
SEJARAH PENDIDIKAN; ANTARA KEAJAIBAN DAN SALAH URUS
Reviewed by Unknown
on
21:48
Rating:
No comments: