Struktur Sosial Masyarakat Nusantara Era Majapahit
Mau sedikit berbagi mengenai Struktur sosial masyarakat pada era majapahit menurut kacamata antropologi dan sosiologi, dan yang melatarbelakangi Majapahit hingga mampu bertahan sampai sekitar 200 tahun, bahkan sempat mencapai masa-masa kegemilangan. Yang di paparkan oleh Bapak Agus Sunyoto, salah satu sejarawan nusantara (Penulis Buku Atlas Wali Songo)
Sebagaimana beliau paparkan, bahwa struktur masyarakat Majapahit saat itu digambarkan terdiri atas 7 lapisan kelompok warga. Adanya pembagian struktur masyarakat seperti ini, sepintas lalu kesannya sangat feodal. Karena ada warga negara yang paling tinggi, yakni kelas 1; dan ada warga negara yang paling rendah, yakni kelas 7. Padahal spiritnya bukan perbedaan kelas atau strata masyarakat sebagaimana yang berlangsung seperti di jaman Hindia Belanda. Tapi lebih merupakan pembagian berdasarkan realitas yang ada berdasarkan ukuran-ukuran nilai yang diyakini saat itu, yang bersesuaian dengan fungsi dan peran kelompok warga dalam negara.
Parameter atau ukurannya pembagian golongan sosial masyarakat ketika itu ditentukan berdasarkan pada kuat tidaknya keterikatan seseorang atau kelompok warga pada materi atau urusan keduniawian. Makin jauh keterikatan seorang atau warga dengan kepentingan materi keduniawian, makin tinggi martabatnya di tengah masyarakat. Dan sebaliknya semakin kuat keterikatannya seseorang pada materi keduniawian dan hasrat-hasrat keduniawian makin rendah martabatnya.
Sebagaimana beliau paparkan, bahwa struktur masyarakat Majapahit saat itu digambarkan terdiri atas 7 lapisan kelompok warga. Adanya pembagian struktur masyarakat seperti ini, sepintas lalu kesannya sangat feodal. Karena ada warga negara yang paling tinggi, yakni kelas 1; dan ada warga negara yang paling rendah, yakni kelas 7. Padahal spiritnya bukan perbedaan kelas atau strata masyarakat sebagaimana yang berlangsung seperti di jaman Hindia Belanda. Tapi lebih merupakan pembagian berdasarkan realitas yang ada berdasarkan ukuran-ukuran nilai yang diyakini saat itu, yang bersesuaian dengan fungsi dan peran kelompok warga dalam negara.
Parameter atau ukurannya pembagian golongan sosial masyarakat ketika itu ditentukan berdasarkan pada kuat tidaknya keterikatan seseorang atau kelompok warga pada materi atau urusan keduniawian. Makin jauh keterikatan seorang atau warga dengan kepentingan materi keduniawian, makin tinggi martabatnya di tengah masyarakat. Dan sebaliknya semakin kuat keterikatannya seseorang pada materi keduniawian dan hasrat-hasrat keduniawian makin rendah martabatnya.
1. Kaum Rohaniawan
Lapisan masyarakat tertinggi di Majapahit diduduki oleh kaum rohaniawan yang umumnya juga sekaligus menjadi seorang budayawan, mereka hidup di hutan-hutan, di gunung-gunung, di gua-gua yang jauh dari keramaian dan jauh dari hiruk pikuk perebutan akses dan penguasaan atas urusan duniawi. Seluruh lapisan masyarakat yang ada di bawahnya hormat dan melindungi kaum rohaniawan (Brahmana, Mpu). Mereka inilah yang dianggap sebagai warga kelas satu alias golongan tertinggi, tugasnya membimbing masyarakat yang ada di bawahnya
2. Kaum Ksatria
Yaitu orang-orang yang tidak memiliki kekayaan pribadi, mereka mengabdi pada negara dan hidup dari negara (dalam arti dibiayai kebutuhan makan, pakaian, dan diberi rumah). Termasuk dari golongan ini adalah raja dan keluarganya, para menteri dan pembesar kerajaan, para raja bawahan atau adipati termasuk di dalamnya kalangan tentara kerajaan. Mereka ini jika perang dan berhasil membawa pampasan perang, kekayaan itu bukan untuk dimiliki secara pribadi tapi untuk negara. Jika ada seorang ksatria yang diketahui memiliki rumah pribadi besar, maka dia disebut ksatria panten. Yaitu ksatria yang harus dihindari atau dikucilkan. Masyarakat tidak boleh melayani orang seperti itu. Negara harus bersih dari orang yang mempunyai pamrih pribadi.
3. Waisya
Golongan berikutnya adalah Waisya, yaitu kaum petani. Kaum petani lebih rendah dibandingkan dua golongan yang disebutkan di atas; sebab kaum petani ini dianggap sudah punya keterikatan pada materi keduniawian, sebab mereka punya rumah, punya tanah atau pekarangan, punya sawah, punya ternak, atau dengan kata lain ada kepemilikan atas aset kekayaan yang notabene adalah manifestasi hasrat keduniawian. Meskipun demikian kedudukan mereka dihargai karena merekalah yang menjamin ketersediaan pangan seluruh warga.
Golongan berikutnya adalah Waisya, yaitu kaum petani. Kaum petani lebih rendah dibandingkan dua golongan yang disebutkan di atas; sebab kaum petani ini dianggap sudah punya keterikatan pada materi keduniawian, sebab mereka punya rumah, punya tanah atau pekarangan, punya sawah, punya ternak, atau dengan kata lain ada kepemilikan atas aset kekayaan yang notabene adalah manifestasi hasrat keduniawian. Meskipun demikian kedudukan mereka dihargai karena merekalah yang menjamin ketersediaan pangan seluruh warga.
4. Kaum Sudra
Golongan Sudra, yaitu para saudagar, para rentenir, para tuan tanah, atau mereka yang memiliki kekayaan berlebihan. Mereka ini tidak boleh bicara tentang agama. Mereka tidak boleh membahas kitab suci. Menurut pandangan yang berlaku kala itu menumpuk kekayaan adalah manifestasi nafsu atau hasrat akan keduniawian. Dan mereka dilarang bicara agama sebab mental dagang dan mencari keuntungan, maka dikuatirkan mereka akan menjual ayat-ayat untuk keuntungan pribadi.
Di sini perlu digaris bawahi, sebenarnya Islam sudah masuk wilayah nusantara sejak abad 8 Masehi, tapi Islam ternyata tak berkembang. Salah satu alasan yang menyebabkan tidak bisa berkembang agama Islam di nusantara pada awal kedatangannya adalah karena yang menyebarkan adalah kaum saudagar. Di mata penduduk pribumi nusantara profesi berdagang tidak cukup dipandang sebagai pekerjaan yang baik. Karena itu agama Islam baru berkembang pesat dan bisa diterima penduduk nusantara di abad 14 ketika yang menyebarkannya para tokoh intelektual yang mempunyai wawasan budaya, suci dari hasrat keduniawian, yang tinggi tingkat spiritualitasnya, yakni kalangan Wali Songo.
Golongan Sudra, yaitu para saudagar, para rentenir, para tuan tanah, atau mereka yang memiliki kekayaan berlebihan. Mereka ini tidak boleh bicara tentang agama. Mereka tidak boleh membahas kitab suci. Menurut pandangan yang berlaku kala itu menumpuk kekayaan adalah manifestasi nafsu atau hasrat akan keduniawian. Dan mereka dilarang bicara agama sebab mental dagang dan mencari keuntungan, maka dikuatirkan mereka akan menjual ayat-ayat untuk keuntungan pribadi.
Di sini perlu digaris bawahi, sebenarnya Islam sudah masuk wilayah nusantara sejak abad 8 Masehi, tapi Islam ternyata tak berkembang. Salah satu alasan yang menyebabkan tidak bisa berkembang agama Islam di nusantara pada awal kedatangannya adalah karena yang menyebarkan adalah kaum saudagar. Di mata penduduk pribumi nusantara profesi berdagang tidak cukup dipandang sebagai pekerjaan yang baik. Karena itu agama Islam baru berkembang pesat dan bisa diterima penduduk nusantara di abad 14 ketika yang menyebarkannya para tokoh intelektual yang mempunyai wawasan budaya, suci dari hasrat keduniawian, yang tinggi tingkat spiritualitasnya, yakni kalangan Wali Songo.
5. Kaum Candala
golongan yang disebut Candala, yaitu mereka yang berprofesi sebagai jagal, pembunuh, dan termasuk di dalamnya petugas negara yang tugasnya membunuh, seperti algojo. Mereka ini dianggap lebih rendah strata sosialnya karena untuk hidup saja mereka harus membunuh sesama makhluk. Meskipun dia disahkan oleh negara, tapi hidupnya dibayar atau mendapatkan nafkah dari membunuh orang. Termasuk golongan ini adalah mereka yang kerjanya mengkremasi mayat.
6. Kaum Mleccha
Golongan Mleccha, yaitu orang-orang asing yang tinggal di Majapahit. Sejak jaman Mataram kuno golongan ini sudah ada. Di mana semua orang asing dimasukan golongan wong kiwahan, yang artinya orang rendahan atau pelayan. Karena penduduk asli diberi kedudukan sebagai wong yekti, wong mulia atau orang agung. Jadi orang asing jaman itu jika ada di wilayah Mataram kuno sampai Majapahit, mereka bekerja sebagai pelayan. Dan tidak boleh lebih dari itu. Saat itu jika ada pribumi bekerja sebagai pelayan, akan diadili. Karena tidak boleh pribumi bekerja sebagai pelayan.
7. Kaum Tuccha
Golongan Tuccha yaitu kalangan pecinta materi duniawi yang tidak mau memahami hak orang lain. Yang termasuk golongan ini di antaranya: para penipu, maling, begal, rampok, dan perompak (termasuk untuk istilah sekarang mereka yang melakukan korupsi, tapi saat itu tak ada korupsi). Mereka ini dianggap paling rendah martabatnya sebab untuk hidup saja melanggar hak-hak orang lain.
Ketika struktur sosial masyarakat di mana pemegang otoritas tertinggi dalam masyarakat nusantara dan kepimimpinan dalam negara adalah orang-orang yang jauh dari kepentingan duniawi dan hasrat rendahan seperti menumpuk harta, saat itulah Nusantara menuju kebesaran dan meraih kejayaan, bahkan disegani oleh negara-negara lain.
Struktur Sosial Masyarakat Nusantara Era Majapahit
Reviewed by Unknown
on
06:59
Rating:
No comments: