sluku-sluku bathok
Islam bukan Arab, tapi tak bisa dipisahkan dari Arab. Sesulit
apa pun, ketika berislam, orang terpaksa sedikit-banyak berarab juga,
setidak-tidaknya dalam bahasa.
Pernahkah kau bayangkan,
betapa asingnya agama ini ketika pertama kali datang di Jawa? Hanya separuh (15
dari 29) fonem Arab (dari huruf Hijaiyyah) punya padanan dalam fonem Jawa (dari
Honocoroko). Sedangkan transliterasi pun tidak mungkin: bagaimana menulis “kho” atau “dzal”, misalnya, dengan aksara Jawa?
Karena itu, para pionir
Islam di tanah Jawa mentolerir “transfoni”, alih bunyi: “dho” jadi “lo”(“dhuhur” jadi “luhur”), “‘ain” jadi “ngo” (“‘ashr” jadi “ngasar”) dan seterusnya. Bahkan, sangking repotnya
memperkenalkan Islam kepada basis budaya yang begitu jauh jaraknya ini, dengan
sengaja dijalankan strategi “alter-foni” (“plesetan” bunyi).
Tokoh-tokoh Semar, Gareng, Petruk dan Bagong tidak dikenal dalam babon pewayangan yang asli dari India. Itu
adalah tokoh-tokoh kreasi Sunan Kalijogo. Sepintas, nama-namanya terdengar
sebagai nama-nama Jawa. Tapi nama harus punya makna. Dan nama Jawa mestinya
bisa dimaknai berdasarkan bahasa Jawa.
Joko
Santoso, misalnya. “Joko” artinya perjaka. “Santoso”: sehat
(tidak sakit dan tidak cacat, baik lahir maupun batin). Maka, kalau cari
menantu, pilihlah joko santoso. Tapi kalau sesudah kawin dia tidak ganti nama,
itu namanya kebohongan publik!
Susilo Bambang Yudhoyono. “Su” = baik, “silo” = lagak-lagu. “Bambang” = laki-laki tampan.“Yudho” =
perang, “yono” = beruntung alias bejo sekaligus slamet. Bayangkan: berdasarkan khazanah Muhammad-Ronny-isme
dan Nurul-Huda-Syam-isme, “slamet” saja sudah koplaknya minta ampun , apalagi
sekaligus “bejo”!
Bagaimana dengan Semar, Gareng, Petruk, Bagong?
Saya punya Kamus Bahasa Jawa susunan Zoetmulder, tebalnya 10
sentimeter. Sudah berulang kali saya membelasah halaman-halaman kamus itu, tak
saya temukan satu pun entri yang bisa menjelaskan makna dari nama-nama
tersebut! Maklum, nama-nama itu sebenarnya merupakan alter-foni dari
lafadh-lafadh Arab:
شمر خيرا فاترك بغـيا
Syammir (semar) khoiron (gareng) fatruk (petruk) baghyan (bagong)
Artinya: bersegeralah (kepada) kebaikan kemudian (segera)
tinggalkanlah kebangsatan.
Diantara tembang mainan
yang paling populer bagi masyarakat Jawa adalah “Sluku-sluku Bathok”:
Sluku-sluku
bathok
bathoke
ela-elo
si romo
menyang solo
leh-olehe
payung muntho
pak
jenthit lolo lobah
wong
mati ora obah
yen
obah medeni bocah
yen
urip goleko dhuwit
Tembang ini entah siapa
yang menciptakan. Terkadang dinisbatkan kepada Sunan Kalijogo, terkadang
Pangeran Sambernyowo (Mangkunegoro I), atau entah siapa lagi, tergantung
penafsiran tentang kata “solo” –apakah
itu nama daerah seperti yang kita kenal sekarang atau yang lain? Dibutuhkan
penelitian lebih serius untuk memastikannya. Yang jelas, tidak mungkin memahami
makna tembang itu berdasarkan khazanah bahasa Jawa, karena sebagian besar
baik-baitnya merupakan alter-foni dari kalam-kalam Arab:
اسلك اسلك بطنك
usluk,
usluk bathnak
بطنك لا اله الا الله
bathnuka
laa ilaaha illallaah
سرما يصل
sirru
maa yashilu
لااله الاالله فيموت
laa
ilaaha illallaah fayamuutu
فجد د الليل لبه
fajaddid
allaila lubbah
Artinya:
Jalankanlah, jalankanlah batinmu
Batinmu (melantunkan): laa ilaaha illallaah
Rahasia yang akan bertemu
(Mengucap) Laa ilaaha illallah kemudian
(langsung) mati
Maka perbaruilah (imanmu
dengan ucapan laa ilaaha illallaah) pada malam ini, yaitu
pada tengah (malam)-nya.
Selebihnya (“wong mati ora obah / yen obah medeni bocah / yen urip
goleko dhuwit”) memang
sepenuhnya kalimat-kalimat Jawa (“orang mati tidak bergerak / kalau bergerak menakuti
kanak-kanak / kalau hidup mencari duit”), merupakan
penjelasan metaforis atas salah satu aforisma dalam kitab “Al Hikam” karya Asy
Syaikh Muhammad ibn ‘Athoillah As Sakandari:
الاعمال صور قائمة وارواحها وجود سر الاخلاص
فيها
(Amal itu [barulah] merupakan sosok yang siaga. Nyawanya adalah
eksistensi rahasia ikhlas didalamnya)
Hingga sekarang,
kecenderungan alter-foni itu masih kental pada orang Jawa. Salah seorang
anggota jama’ah KBIH (Kelompok Bimbingan Ibadah Haji) “Al Ibriz”, Rembang,
bernama Mbah Juliyah, seorang perempuan tua yang sejak kecil tidak memperoleh
pendidikan agama dan belum lama mulai menjalankan ibadah. Entah apakah
“Juliyah” itu alter-foni dari “jaliyyah”(perempuan yang mengkilat) atau hanya karena
ia lahir di bulan Juli.
Kepada semua anggota
jama’ah, sejak penataran manasik telah diajarkan doa “sapu jagad”, yaitu “robbanaa aatinaa fid dun-yaa…” dan seterusnya hingga “…waqinaa ‘adzaaban naar”.Saat itu Mbah Juliyah pun
kelihatan tekun mengikuti dan komat-kamit menirukan doa yang dituntunkan oleh
pembimbing KBIH. Sepulang dari tanah suci, dirubung oleh sanak-keluarga, para
tetangga dan handai-taulan, Mbah Juliyah memimpin doa,
“Robbanaa
aatinaa fidun-yaa yang benar….”
Sumber : teronggosong.com
Sumber :
sluku-sluku bathok
Reviewed by Unknown
on
22:01
Rating:
salam hangat dari kami ijin informasinya dari kami pengrajin jaket kulit
ReplyDeleteSalam
Delete